Habib bin Zaid adalah seorang sahabat Nabi, di mana keimanan telah
menjalari persendian sampai ke tulang sumsumnya. Dan semenjak hijrahnya
Nabi ke Madinah, ia selalu berada di samping beliau tak pernah
ketinggalan dalam suatu peperangan dan tidak pula melalaikan suatu
kewajiban.
Pada suatu ketika, di selatan jazirah Arab muncullah dua pimpinan
pembohong durjana yang mengakui diri mereka sebagai nabi dan menggiring
manusia ke lembah kesesatan. Salah seorang di antara mereka muncul di
Sana’a, yaitu al-Aswad bin Ka’ab al-’Ansi, dan yang seorang lagi di
Yamamah, itulah dia Musailamatul Kaddzab, Musailamah si pembohong besar.
Kedua penipu itu menghasut anak buahnya untuk memusuhi orang-orang
beriman yang mengabulkan panggilan Allah serta Rasul-Nya di kalangan
suku mereka, begitupun untuk menolak para utusan Rasul ke negeri mereka.
Dan lebih celaka lagi, mereka menodai serta memandang enteng kenabian
itu sendiri, dan membuat bencana serta menyebar kesesatan di muka bumi…
Pada suatu hari, dengan tidak disangka-sangka Rasulullah didatangi oleh
seorang utusan yang dikirim oleh Musailamah. Utusan itu membawa sepucuk
surat yang berisi:
“Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah, terkirim salam
…. Kemudian, ketahuilah bahwa saya telah diangkat sebagai serikat anda
dalam hal ini, hingga kami beroleh separoh bumi sedang bagi Quraisy
separuhnya lagi. Tetapi ternyata orang-orang Quraisy aniaya!”
Rasulullah memanggil salah seorang juru tulis di antara
sahabat-sahabatnya, lalu dituliskannya jawaban terhadap Musailamah,
bunyinya sebagai berikut:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah
si Pembohong. Salam bagi orang yang mau mengikuti petunjuk. Kemudian
ketahuilah bahwa bumi itu milik Allah, diwaris¬kan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, sedang akhir kesudahan akan
berada di pihak orang-orang yang taqwa … !”
Kalimat-kalimat Rasulullah Saw itu tak ubah cahaya fajar, yang membuka
kedok pimpinan Bani Hanifah yang mengira bahwa kenabian itu tiada
bedanya dengan kerajaan, hingga ia menuntut separuh wilayah berikut
hamba rakyatnya … ! Jawaban Rasulullah saw itu dibawa langsung oleh
utusan Musailamah, yang ternyata bertambah sesat dan semakin
menyesatkan.
Penipu besar itu masih juga menyebarkan kebohongan dan kepalsuannya,
sementara hasutan dan penganiayaannya terhadap orang-orang beriman kian
meningkat. Maka rencana Rasulullah hendak mengirim surat kepadanya
menyuruhnya menghentikan ketololan dan penyelewengan-penyelewengannya.
Dan sebagai pembawa surat kepada Musailamah itu pilihan Rasulullah jatuh
kepada Habib bin Zaid. Maka berangkatlah Habib melangkahkan kakinya
dengan cepat dan berbesar hati menerima tugas yang dipercayakan
kepadanya oleh Rasulullah Saw serta menaruh harapan besar kiranya dada
Musailamah terbuka lebar untuk menerima kebenaran, hingga dirinya juga
akan beroleh bagian pahala dan ganjaran besar.
Dan akhirnya sampailah utusan Rasulullah itu ke tempat tujuannya.
Musailamah lalu membuka surat itu. Walaupun isinya bagaikan cahaya
fajar, ia tak mampu membacanya, bahkan menyilaukannya. la semakin
tenggelam dalam kesesatan.
Dan karena Musailamah itu tidak lebih dari seorang petualang dan penipu,
maka sifat-sifatnya juga adalah sifat-sifat penipu dan petualang maka
ia perintahkan untuk membunuh utusan tersebut . Musailamah penipu itu
mengumpulkan rakyat dan memanggil mereka untuk menghadiri suatu
peristiwa di antara peristiwa-peristiwanya yang penting !
Sementara itu utusan Rasulullah Habib bin Zaid dengan bekas-bekas
siksaan dahsyat yang dilakukan padanya oleh orang-orang aniaya itu,
dibawa ke depan dengan rencana mereka hendak melucuti keberaniannya,
hingga di hadapan khalayak ramai ia akan tampak lesu dan patah semangat
lalu menyerah kalah dan ketika diminta untuk mengakui di depan mereka
segera beriman kepada Musailamah, hingga dengan demikian penipu itu akan
dapat menonjolkan mukjizat palsu di depan mata anak buahnya yang sama
tertipu.
Musailamah berkata kepada Habib, "Apakah kamu mengakui bahwa Muhammad
itu utusanAllah?." "Benar," ujar Habib, "saya mengakui bahwa Muhammad
itu utusan Allah."
Rona kemerah-merahan meliputi wajah Musailamah, lalu katanya lagi, "Dan kamu mengakuiku sebagai utusan Allah?".
"Tak pernah saya mendengar tentang itu … !", kata Habib.
Wajah penipu yang kemerah-merahan tadi berubah menjadi hitam legam karena kecewa dan murka!
Siasat telah gagal, dan tindakannya menyiksa utusan itu hanya sia-sia
belaka, sementara di hadapan orang ramai yang telah dipanggilnya
berkumpul itu, ia bagaikan menerima tamparan hebat yang menjatuhkan
wibawanya .
Ketika itu Musailamah bangkit, lalu dipanggilnya algojonya yang segera
datang dan menusuk tubuh Habib dengan ujung pedangnya. Kemudian
dilanjutkannya kebuasannya dengan menyayat dan membagi tubuh sepotong
demi potong. Sementara pahlawan besar itu, tiada yang dapat dilakukannya
selain bergumam mengulang-ulang senandung sucinya. “Lailaha illallah,
Muhammadur Rasulullah….”.
Seandainya ketika itu Habib menyelamatkan dirinya dengan berpura-pura
mengikuti keinginan Musailamah dan menyampaikan keimanan dalam lipatan
kalbunya, tiadalah iman itu akan kurang sedikit pun juga, dan tiadalah
keislamannya akan ternoda. Tetapi ia yang merupakan seorang tokoh yang
bersama ayah bunda, saudara dan bibinya telah menyaksikan Baiat Aqabah,
dan semenjak saat yang menentukan dan penuh berkah itu memikul tanggung
jawab atas janji dan keimanannya secara penuh tanpa kurang, sedikit pun,
tiadalah akan tega merusak prinsip dan kehidupannya selama ini dengan
waktu sesaat yang singkat itu.
Oleh sebab itu tiadalah saat, yang sebaik-baiknya lewat di depan matanya
untuk memenangkan seluruh pereaturan hidup, seperti kesempatan
satu-satunya ini yang akan dapat melukiskan secara gamblang seluruh
kisah keimanan, kebenaran, ketabahan, kepahlawanan, pengorbanan dan
semangat berapi coati di jalan petunjuk dan kebenaran, yang dalam rasa
manis dan keharuannya hampir melebihi setup kemenangan dan keberhasilan
manapun juga.
Berita syahid utusannya yang mulia ini sampai ke telinga Rasulullah Saw.
Dengan hati tabah la menyerahkan diri kepada putusan Tuhannya. Karena
dengan nur Ilahi ia dapat melihat bagaimana akhir kesudahan Musailamah
si pembohong ini, bahkan dapat dikatakan menyaksikan tersungkurnya
pimpinan itu dengan mata kepala sendiri.
Tidak lama kemudian tibalah saat terjadinya peristiwa yang menentukan
sejarah menangnya kebenaran yaitu perang Yamamah. Khalifatul Rasul yaitu
Abu Bakar Shiddiq mengerahkan tentara Islam menuju Yamamah di mana
Musailamah telah menyiapkan pasukan terbesar.
Nusaibah ikut dalam tentara Islam itu dan segera menerjunkan dirinya
dalam kancah peperangan, tangan kanannya memegang pedang dan tangan
kirinya menggenggam tombak, sementara lisannya tiada hentinya
meneriakkan:, “Di mana dia Musailamah musuh Allah itu?”
Dan tatkala Musailamah telah tewas menemui ajalnya, dan para pengikutnya
berguguran bagai kapas yang berterbangan, sedang bendera dan
panji-panji Islam berkibar dengan megahnya, Nusaibah berdiri tegak
sementara tubuhnya yang mulia dan perkasa itu penuh dengan luka-luka
bekas tebasan pedang dan tusukan tombak.
Ia berdiri mencari-cari wajah puteranya tercinta, Habib yang telah lebih
dahulu syahid. Didapatinya ia memenuhi ruang dan waktu . . . ! Setiap
Nusaibah mengarahkan pandang ke setiap panji-panji yang sedang berkibar
dengan megah dan jaya itu, dilihatnya di sana wajah puteranya sedang
tersenyum gembira, penuh kemenangan dan kebanggaan. Subhanallah.
sumber : suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar