Rabu, 24 Desember 2014

Meluruskan Kembali Makna Hijab

Tak dapat dipungkiri, betapa senangnya kita belakangan ini menyaksikan maraknya kaum wanita yang berlomba-lomba mendeklarasikan dirinya telah berhijab. Di setiap tempat, di jalan, kampus, mal, dan tentu saja dalam berbagai kesempatan telah kita dapati banyaknya muslimah yang tak lagi menampakkan keindahan perhiasan diri  yang mereka katakan telah berhijab.

Untuk mensyiarkan hijab ini, berbagai komunitas dibentuk oleh para muslimah. Sebut saja Hijabers Community, Komunitas Hijabers Bekasi, Komunitas Hijab Indonesia, dan banyak lagi nama lain yang merupakan wadah berkumpulnya para muslimah yang telah dan ingin mengajak serta muslimah lain untuk berhijab.

Tak ada ungkapan selain kebanggaan terhadap usaha para muslimah tersebut. Di saat yang lain under estimate untuk membentuk  komunitas-komunitas dengan tidak berani mengusung  nilai-nilai Islam, mereka justru dengan bangga membuat wadah perkumpulan muslimah yang di dalamnya berisi orang-orang yang secara sadar menanggalkan busana yang jauh dari nilai-nilai Islam dan mengajak serta orang lain untuk mengikutinya.

Saking maraknya, berbagai media baik cetak maupun elektronik tak mau ketinggalan mempublikasikan setiap kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas hijab. Juga beragam talk show yang menghadirkan perwakilan dari komunitas-komunitas tersebut untuk bicara visi misi serta tujuan dibentuknya komunitas yang fenomenal itu.

Komunitas hijab beserta apa yang dikenakan menjadi trend. Berbondong-bondong para muslimah, khususnya di negeri ini, mengikuti gaya berbusana dengan apa yang mereka sebut hijab. Bahkan untuk melariskan produknya, belakangan tentu tak asing bagi kita menyaksikan sebuah iklan televisi yang di salah satu adegannya adalah bunyi dialog, “Wah,kamu sudah berhijab ya!”.

Hijab Dulu dan Kini

Apa yang menjadi pesan dalam tiap perkataan dan aktivitas serta apa yang dikenakan oleh muslimah dalam berbagai komunitas hijab tersebut telah dengan gamblang tersampaikan. Bahwa hijab bermakna telah menutup aurat, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Para disainer dalam berbagai peragaan busana muslim pun menegaskan hal tersebut.

Namun jika dicermati, apakah makna hijab yang ingin disampaikan oleh kebanyakan disainer  muslim masa kini dengan berbagai komunitas hijab sebagai icon telah mewakili makna hijab yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah?

Al Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain al hijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Dalam kitab Al Ta’rifat dijelaskan bahwa Al Hijab adalah segala sesuatu yang terhalang dari pencarian kita, dalam arti bahasa berarti ma’nu yaitu mencegah, contohnya mencegah diri kita dari penglihatan orang lain.

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan seperti apa yang dikatakan oleh Al-Zabidy dalam kitabnya Taj al-‘Urus, bahwa yang dimaksud dengan al-Hijab adalah segala sesuatu yang menghalangi antara kedua belah pihak. Artinya ada sebuah benda yang menghalangi penglihatan kita terhadap orang lain, contohnya, ketika ada dua orang sedang berbicara, tetapi di tengah-tengah mereka terdapat tembok yang besar, sehingga dengan adanya tembok yang besar itu mengakibatkan kedua orang tersebut tidak melihat satu sama lain. Nah…tembok inilah yang dinamakan al-Hijab.

Dalam Al-Qur’an pun disebutkan tentang al-Hijab ini, walaupun satu ayat, tetapi bermakna sangat dalam sekali terhadap definisi al-Hijab itu sendiri, sehingga ayat ini diberi nama dengan “Ayat Hijab”.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS.Al Ahzab:53)

Yang dimaksud dengan al-Hijab pada ayat di atas adalah, tabir pembatas yang menghalangi wanita dari penglihatan orang lain, tetapi bukan sesuatu yang dipakai seperti pakaian, celana maupun jilbab akan tetapi berbentuk sebuah pemisah seperti tembok, korden dan lain sebagainya.

Mengacu pada ayat di atas bahwa ketika pada zaman Nabi Muhammad Saw, ada orang asing yang datang kepada istri beliau untuk bertemu dikarenakan ada sesuatu urusan, maka Nabi pun mengizinkannya akan tetapi memerintahkan agar istrinya bertemu dibalik tabir.

Meski hal tersebut hanya berlaku untuk istri-istri Nabi, namun demi menjaga kesucian diri di jaman sekarang pun sebagai contoh dapat kita saksikan bagaimana para aktivis Islam dalam setiap kegiatan terutama ketika melakukan syuro’ (rapat) di sebuah ruangan, maka digunakanlah oleh mereka hijab untuk memisahkan ruang antara laki-laki dan perempuan. Juga dalam kegiatan seminar ke-Islaman, diskusi, pengajian, dan lain sebagainya hal tersebut lazim dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dan dapat menimbulkan fitnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar