Barakah
bintu Tsa’labah adalah seorang shahabiyah yang kehidupannya penuh
berkah. Ia hidup sepanjang masa kenabian sehingga ia menyaksikan
peristiwa-peristiwa pada periode tersebut.
Kun-yahnya
adalah “Ummu Aiman”, dan ia lebih dikenal dengannya; menjadi pengasuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak beliau masa kecil. Ia wafat
sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ummu
Aiman adalah isteri Zaid bin Haritsah, anak angkat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Zaid, ia mendapatkan seorang anak
yang menjadi mujahid yang sangat hebat, yang sangat disayangi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Usamah bin Zaid. Dari
suaminya yang pertama, ia memiliki seorang anak yang gugur sebagai
syuhada (yaitu Aiman bin Ubaid Al-Khazraji).
Merawat Muhammad
yang masih kecil Ummu Aiman mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sejak beliau kecil sampai diutus menjadi seorang nabi. Dia menemani
Aminah binti Wahab, ibunda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berangkat
ke Madinah bersama putra kesayangannya untuk mengunjungi Bani Najjar
yang merupakan keluarga Abdul Muthalib. Di dalam perjalanan pulang
kembali ke Mekkah, Aminah menderita sakit di perjalanan. Akhirnya beliau
wafat di Abwa (tempat antara Mekkah dan Madinah).
Karena itulah,
Ummu Aiman menjadi satu-satunya pendamping Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam – yang saat itu masih anak-anak – menuju kota Mekkah.
Sang kakek, Abdul Muthalib, menjadi pengasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Ia mencintai sang cucu sepenuh hati. Adapun Ummu Aiman,
ia tetap berada di sisi Rasulullah, mengurusnya dengan penuh cinta
kasih, menjaganya dengan seluruh kemampuan diri, seakan ia menjadi
penganti sang ibu yang telah pergi, sebagaimana Abdul Muthalib hadir
sebagai kakek sekaligus “bapaknya”. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam kecil pun tumbuh di antara orang-orang yang selalu mencurahkan
kehangatan cinta dan kelembutan kasih sayang.
Wujud rasa sayang
Abdul Muthalib kepada sang cucu membuatnya sangat banyak berwasiat
kepada Ummu Aiman. Di salah satu wasiatnya ia berkata, “Wahai Barakah,
janganlah engkau melalaikan anakku. Aku mendapatkannya bersama anak-anak
kecil dekat dengan pohon bidara. Ketahuilah bahwa orang-orang dari
Ahlul Kitab menyangka bahwa anakku ini akan menjadi nabi umat ini.
”
Ketika Abdul Muthalib meninggal dunia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam merasakan kesedihan yang sangat. Ummu Aiman menceritakan kejadian
itu; ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hari itu menangis di belakang tempat tidur Abdul Muthalib.”
(Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)
Dua pernikahan Tatkala Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dewasa, beliau sangat menghargai
dan menghormati Ummu Aiman; Ummu Aiman yang mengurus perkara dan urusan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjaganya dengan sebaik-baik
penjagaan. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah
dengan Khadijah radhiyallahu ‘anha, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerdekakan Ummu Aiman.
Kemudian beliau menikahkannya dengan
Ubaid bin Zaid Al-Khazraji. Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang
putra yang diberi nama “Aiman”. Aiman radhiyallahu ‘anhu adalah seorang
sahabat yang berhijrah dan berjihad, serta mati syahid pada perang
Hunain.
Khadijah Ummul Mukminin memiliki seorang budak bernama
Zaid bin Haritsah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada
Khadijah agar Zaid dihadiahkan baginya. Khadijah memenuhi permintaan
sang suami tercinta. Zaid menjadi anak angkat Rasulullah dan orang yang
sangat dicintainya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerdekakannya dan menikahkannya dengan Ummu Aiman, setelah suaminya
yang pertama meninggal dunia. Seorang anak lelaki terlahir dari
pernikahan itu.
Namanya adalah Usamah. Zaid kemudian berkun-yah
dengan nama “Abu Usamah”. Turut berjihad di barisan kaum muslimin Ketika
usia Ummu Aiman semakin bertambah, beliau sangat senang untuk turut
serta berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada
perang Uhud, Ummu Aiman berangkat bersama para wanita. Peran yang ia
utamakan adalah mengobati orang-orang yang terluka dan memperhatikan
mereka, serta memberi minum para mujahidin yang kehausan.
Pada
perang Khaibar, Ummu Aiman bersama dua puluh orang wanita berangkat
menuju medan perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
pasukan kaum muslimin. Adapun anaknya, Aiman, tidak ikut dalam perang
ini karena kudanya sakit. Meski memiliki alasan, ibunya menyifatinya
sebagai pengecut. Pada perang Mu’tah, suaminya (Zaid bin Haritsah
radhiyallahu ‘anhu) wafat sebagai syuhada. Ummu Aiman menerima berita
tersebut dengan sabar dan mengharap pahala dari Allah.
Pada
perang Hunain, anaknya (Aiman) juga mati sebagai syuhada. Kembali beliau
bersabar dan mengharap pahala dari Allah dengan kematian anaknya.
Beliau hanya mengharapkan keridhaan Allah dan keridhaan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kesulitan dalam mengucap makhraj dengan
benar Ummu Aiman adalah seseorang yang dihormati oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hal itu tidak menghalangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menegurnya saat ia salah. Ummu Aiman terkadang
salah dalam mengucapkan kata. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkannya atau memerintahkannya untuk banyak diam.
Diriwayatkan
bahwa Ummu Aiman bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dia berkata, سلام لا عليكم “Keselamatan dan kesejahteraan tidaklah
untukmu.” Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
keringanan kepada beliau untuk mengucapkan “السلام” saja.
(Ath-Thabaqatul Kubra, 8:224)
Serta dari Abu Huwairits,
bahwasanya Ummu Aiman berkata pada saat perang Hunain, سبت الله أقدامكم
(yang benar seharusnya: ثبت الله أقدامكم [semoga Allah mengokohkan kaki
kalian], Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepadanya,
“Diamlah, karena engkau sulit mengucapkan makhraj (huruf) dengan benar.”
(Ath-Thabaqatul Kubra, 8:225)
Tutup usia Hari pun berlalu dengan
cepat; wafatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berita
kematian pun tersebar, kota Madinah terasa gelap gulita dari barat
maupun timur.
Hati manusia diliputi duka. Ummu Aiman menangis
sedih atas perpisahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu; ia berkata, “Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Umar radhiyallahu ‘anhu setelah
wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mari kita pergi
mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengunjungi beliau semasa hidupnya.’ Tatkala kami menemuinya,
beliau menangis. Kami pun bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis? Apa
yang di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya.’
Ummu Aiman
berkata, ‘Aku bukan menangisi beliau, karena aku tahu apa yang di sisi
Allah itu lebih baik baginya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi
aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.’ Maka mereka
berdua pun ikut menangis.” (Ath-Thabaqatul Kubra, 2:332–333) Akhirnya
seorang shahabiyah, yang mengasuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam semenjak kecil dan bersama dengan beliau menyaksikan masa
nubuwwah, kembali ke sisi Rabb-Nya.
Setelah mencurahkan kebaikan
bagi Nabi-Nya dan bagi agamanya, Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha wafat
lima bulan – atau dalam riwayat lain: enam bulan – setelah wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 2454)
sumber : siramanqolbu.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar